Minggu, 28 November 2010

Budaya-Budaya di Madura (Sumenep)

Upacara Nyadar
 Upacara ritual Nyadar, merupakan acara tahunan yang digelar turun temurun oleh segenap masyarakat Desa Pinggir Papas, Kabupaten Sumenep, Madura, Jawa Timur. Puncak acaranya digelar di Komplek Pemakaman di Desa Kebundadap yang berjarak 13 km dari Desa Pinggir Papas.
Untuk mencapai pusat acara, warga Desa Pinggir Papas harus menyeberangi sungai Saroka. Sedangkan masyarakat umum boleh menumpang kendaraan darat.
Dalam setahun, upacara ritual Nyadar digelar tiga kali. Acara Nyadar pertama digelar bulan Juli, dan seterusnya Agustus dan September. Upacara ritual ini, dilaksanakan persis pada malam bulan purnama pada tanggal 15 kalender Islam.
Acara ritual ini untuk memperingati dan mengenang tokoh pembuat garam pertama di Pulau Madura. Tokoh yang kemudian dikenal sebagai Panglima Perang Kerajaan Klungkung Bali ini bernama Anggosuto. Kedatangan Anggosuto ke daratan Madura dalam kaitan memimpin perang melawan Raja Wetan Sumenep.
Meski akhirnya meninggal dan dimakamkan di Komplek Pemakaman Kebun Dadap, jasa Anggosuto cukup besar bagi kehidupan dan penghidupan warga Desa Pinggir Papas.
Dari tangan Anggosuto inilah, diperoleh cikal bakal ketrampilan pembuatan garam kristal. Dari literatur sejarah Kabupaten Sumenep, disebutkan Anggosuto mulai mengolah garap pada tahun 1407.
Dari Desa Pinggir Papas inilah, ketrampilan mengolah garam kristal melebar dan meluas ke seantero Pulau Madura. Termasuk pengolahan garam di pulau-pulau kecil di Kabupaten Sumenep. Semisal, Pulau Giliraja dan Pulau Giligenting.
Sehari sebelum Upacara Nyadar, warga mulai sibuk dengan memotong ayam untuk sesaji dan mempersiapkan panjeng atau piring keramik berukuran besar, sebagai tempat sesajen serta menaruh berbagai perlengkapan sesaji lain.
Puncak Nyadar pun dimulai. Para sesepuh berbaju hitam membuka langkah ritual dengan melakukan ziarah ke makam Anggosuto. Dua senjata warisan sang pangeran yang berupa keris dan kodik juga ikut dikeluarkan untuk menjaga di depan pintu makam. Tak lama kemudian giliran sesepuh berbaju putih bermotif “Racok Seribu” masuk dan berdoa di makam.

Tari Muang Sangkal
Sumenep-Tari muang sangkal karya cipta taufiqurrahman, seniman asli sumenep makin diminati pelajar. Terbukti, ketika ada hajatan sekolah, sejumlah siswa membawakan tarian tersebut.
Tari muang sangkal memang sudah lama di ciptakan seniman sumenep, taufuqurrahman. Bahkan, tarian ini telah berhasil mendapat penghargaan cak durasim award beberapa tahun silam. Sehingga, tarian ini kemudian dikukuhkan sebagai salah satu tarian ciri khas kabupaten sumenep.
Menyaksikan tarian muang sangkal hati terenyuh. Sebab, gerakan dan bunyi gamelan yang mengiringi tarian ini mempunyai makna seni yang tinggi.
Tari muang sangkal dibawakan oleh empat gadis penari, dengan nampan warna keemasan. Di dalam nampan tersebut terdapat beras yang juga berwarna kuning. Diakhir tarian, empat gadis tersebut menabur  beras kuning yang ada dalam nampan. Hal itu sebagai pertanda petaka atau marabahaya yang ada didalam diri seseorang telah dibuang jauh-jauh.


Kesenian Macapat
 Macapat adalah salah satu salah satu kesenian tradisional. Seni membaca tembang yang berasal dari tanah Jawa ini juga berkembang sampai ke Pulau Madura. Namun, kini mulai terpinggirkan dan ditinggal masyarakatnya, khususnya di Madura. Mengapa?
Macapat mengandung makna dalam. Dengan mendengarnya, bisa menyejukklan hati. Apalagi jika bisa tahu maknanya, akan sangat berarti dalam kehidupan.
Namun, seiring dengan berkembangnya berbagai musik modern, saat ini seni macapat kurang digemari. Berdendang dengan dengan macapat dianggap kuno atau malah katrok.

KERAPAN SAPI
Kerapan atau karapan sapi adalah satu istilah dalam bahasa Madura yang digunakan untuk menamakan suatu perlombaan pacuan sapi. Ada dua versi mengenai asal usul nama kerapan. Versi pertama mengatakan bahwa istilah “kerapan” berasal dari kata “kerap” atau “kirap” yang artinya “berangkat dan dilepas secara bersama-sama atau berbondong-bondong”. Sedangkan, versi yang lain menyebutkan bahwa kata “kerapan” berasal dari bahasa Arab “kirabah” yang berarti “persahabatan”. Namun lepas dari kedua versi itu, dalam pengertiannya yang umum saat ini, kerapan adalah suatu atraksi lomba pacuan khusus bagi binatang sapi. Sebagai catatan, di daerah Madura khususnya di Pulau Kangean terdapat lomba pacuan serupa yang menggunakan kerbau. Pacuan kerbau ini dinamakan mamajir dan bukan kerapan kerbau.
                                                                    
Asal usul kerapan sapi juga ada beberapa versi. Versi pertama mengatakan bahwa kerapan sapi telah ada sejak abad ke-14. Waktu itu kerapan sapi digunakan untuk menyebarkan agama Islam oleh seorang kyai yang bernama Pratanu. Versi yang lain lagi mengatakan bahwa kerapan sapi diciptakan oleh Adi Poday, yaitu anak Panembahan Wlingi yang berkuasa di daerah Sapudi pada abad ke-14. Adi Poday yang lama mengembara di Madura membawa pengalamannya di bidang pertanian ke Pulau Sapudi, sehingga pertanian di pulau itu menjadi maju. Salah satu teknik untuk mempercepat penggarapan lahan pertanian yang diajarkan oleh Adi Polay adalah dengan menggunakan sapi. Lama-kelamaan, karena banyaknya para petani yang menggunakan tenaga sapi untuk menggarap sawahnya secara bersamaan, maka timbullah niat mereka untuk saling berlomba dalam menyelesaikannya. Dan, akhirnya perlombaan untuk menggarap sawah itu menjadi semacam olahraga lomba adu cepat yang disebut kerapan sapi.

Macam-macam Kerapan Sapi
Kerapan sapi yang menjadi ciri khas orang Madura ini sebenarnya terdiri dari beberapa macam, yaitu:
1. Kerap Keni (kerapan kecil)
Kerapan jenis ini pesertanya hanya diikuti oleh orang-orang yang berasal dari satu kecamatan atau kewedanaan saja. Dalam kategori ini jarak yang harus ditempuh hanya sepanjang 110 meter dan diikuti oleh sapi-sapi kecil yang belum terlatih. Sedangkan penentu kemenangannya, selain kecepatan, juga lurus atau tidaknya sapi ketika berlari. Bagi sapi-sapi yang dapat memenangkan perlombaan, dapat mengikuti kerapan yang lebih tinggi lagi yaitu kerap raja.

2. Kerap Raja (kerapan besar)
Perlombaan yang sering juga disebut kerap negara ini umumnya diadakan di ibukota kabupaten pada hari Minggu. Panjang lintasan balapnya sekitar 120 meter dan pesertanya adalah para juara kerap keni.

3. Kerap Onjangan (kerapan undangan)
Kerap onjangan adalah pacuan khusus yang para pesertanya adalah undangan dari suatu kabupaten yang menyelenggarakannya. Kerapan ini biasanya diadakan untuk memperingati hari-hari besar tertentu.

4. Kerap Karesidenen (kerapan tingkat keresidenan)
Kerapan ini adalah kerapan besar yang diikuti oleh juara-juara kerap dari empat kabupaten di Madura. Kerap karesidenan diadakan di Kota Pamekasan pada hari Minggu, yang merupakan acara puncak untuk mengakhiri musim kerapan.

5. Kerap jar-jaran (kerapan latihan)
Kerapan jar-jaran adalah kerapan yang dilakukan hanya untuk melatih sapi-sapi pacuan sebelum diturunkan pada perlombaan yang sebenarnya.

Pihak-pihak yang Terlibat dalam Permainan Kerapan Sapi
Kerapan sapi adalah salah satu jenis permainan rakyat yang banyak melibatkan berbagai pihak, yang diantaranya adalah: (1) pemilik sapi pacuan; (2) tukang tongko (orang yang bertugas mengendalikan sapi pacuan di atas kaleles); (3) tukang tambeng (orang yang menahan tali kekang sapi sebelum dilepas); (4) tukang gettak (orang yang menggertak sapi agar pada saat diberi aba-aba dapat melesat dengan cepat); (5) tukang tonja (orang yang bertugas menarik dan menuntun sapi); dan (6) tukang gubra (anggora rombongan yang bertugas bersorak-sorak untuk memberi semangat pada sapi pacuan).

Jalannya Permainan
Sebelum kerapan dimulai semua sapi-kerap diarak memasuki lapangan. Kesempatan ini selain digunakan untuk melemaskan otot-otot sapi, juga merupakan arena pamer keindahan pakaian dan hiasan dari sapi-sapi yang akan dilombakan. Setelah parade selesai, pakaian dan seluruh hiasan itu mulai dibuka. Hanya pakaian yang tidak mengganggu gerak tubuh sapi saja yang masih dibiarkan melekat.

Setelah itu, dimulailah lomba pertama untuk menentukan klasemen peserta. Seperti dalam permainan sepak bola, dalam babak ini para peserta akan mengatur strategi untuk dapat memasukkan sapi-sapi pacuannya ke dalam kelompok “papan atas” agar pada babak selanjutnya (penyisihan), dapat berlomba dengan sapi pacuan dari kelompok “papan bawah”.
Selanjutnya adalah babak penyisihan pertama, kedua, ketiga dan keempat atau babak final. Dalam babak penyisihan ini, permainan memakai sistem gugur. Dengan perkataan lain, sapi-sapi pacuan yang sudah dinyatakan kalah, tidak berhak lagi ikut dalam pertandingan babak selanjutnya. Sedangkan, bagi sapi pacuan yang dinyatakan sebagai pemenang, nantinya akan berhadapan lagi dengan pemenang dari pertandingan lainnya. Begitu seterusnya hingga tinggal satu pemain terakhir yang selalu menang dan menjadi juaranya.

Nilai budaya
Permainan kerapan sapi jika dicermati secara mendalam mengandung nilai-nilai yang pada gilirannya dapat dijadikan sebagai acuan dalam kehidupan bermasyarakat. Nilai-nilai itu adalah: kerja keras, kerja sama, persaingan, ketertiban dan sportivitas.

Nilai kerja keras tercermin dalam proses pelatihan sapi, sehingga menjadi seekor sapi pacuan yang mengagumkan (kuat dan tangkas). Untuk menjadikan seekor sapi seperti itu tentunya diperlukan kesabaran, ketekunan dan kerja keras. Tanpa itu mustahil seekor sapi aduan dapat menunjukkan kehebatannya di arena kerapan sapi.

Nilai kerja sama tercermin dalam proses permainan itu sendiri. Permainan kerapan sapi, sebagaimana telah disinggung pada bagian atas, adalah suatu kegiatan yang melibatkan berbagai pihak. Pihak-pihak itu satu dengan lainnya saling membutuhkan. Untuk itu, diperlukan kerja sama sesuai dengan kedudukan dan peranan masing-masing. Tanpa itu mustahil permainan kerapan sapi dapat terselenggara dengan baik.

Nilai persaingan tercermin dalam arena kerapan sapi. Persaingan menurut Koentjaraningrat (2003: 187) adalah usaha-usaha yang bertujuan untuk melebihi usaha orang lain dalam masyarakat. Dalam konteks ini para peserta permainan kerapan sapi berusaha sedemikian rupa agar sapi aduannya dapat berlari cepat dan mengalahkan sapi pacuan lawan sesuai dengan yang diharapkan. Oleh karena itu, masing-masing berusaha agar sapinya dapat melakukan hal itu sebaik-baiknya. Jadi, antarpeserta bersaing dalam hal ini.

Nilai ketertiban tercermin dalam proses permainan kerapan sapi itu sendiri. Permainan apa saja, termasuk kerapan sapi, ketertiban selalu diperlukan. Ketertiban ini tidak hanya ditunjukkan oleh para peserta, tetapi juga penonton yang mematuhi peraturan-peraturan yang dibuat. Dengan sabar para peserta menunggu giliran sapi-sapi pacuannya untuk diperlagakan. Sementara, penonton juga mematuhi aturan-aturan yang berlaku. Mereka tidak membuat keonaran atau perbuatan-perbuatan yang pada gilirannya dapat mengganggu atau menggagalkan jalannya permainan.
Dan, nilai sportivitas tercermin tidak hanya dari sikap para pemain yang tidak berbuat curang saat berlangsungnya permainan, tetapi juga mau menerima kekalahan dengan lapang dada. (ali gufron)






Tidak ada komentar:

Posting Komentar